Pages

Tuesday, September 02, 2008

Menyeimbangkan Zikir dan Pikir

Oleh Priyo Suprobo

Peradaban manusia, menurut Alfin Toffler, futuristik sains terkemuka, terbagi atas tiga gelombang. Pertama abad pertanian, kedua, abad industri, dan ketiga abad infomasi.

Teori-teori yang berkembang sekarang ini melangkah ke arah era peradaban baru, yaitu gelombang keempat yang ditandai dengan kompetisi yang ketat dalam era globalisasi. Gelombang keempat itu disebut dengan Knowledge Based Economic (KBE).

Di sisi lain peradaban manusia, menurut Huntington, seorang pakar sains politik terkemuka, akan ada benturan peradaban antara tujuh (hingga delapan) peradaban besar dunia, di antaranya Barat, Islam, dan China.

Apa pun konsep peradaban manusia tersebut, "keseimbangan kekuatan" adalah kata kunci agar salah satu dari kelompok peradaban tersebut tidak saling berbenturan. Keseimbangan kekuatan tersebut kalau dahulu adalah lebih ke arah kekuatan militer (hard power), sekarang pada kekuatan daya saing yang menunjang ekonomi negara (soft power).

Soft power adalah kemampuan membuat pihak lain menjalankan apa yang kita inginkan tanpa kita harus menggunakan kekerasan atau membayar, melainkan melalui daya tarik (Nye, 2008).

Dalam konteks penguasaan sains dan teknologi, soft power adalah kemampuan mendominasi suatu negara (dengan peradaban maju) terhadap negara lain melalui kemampuan memenuhi kebutuhannya terhadap sains dan teknologi.

Dunia Barat begitu mendominasi dalam kekuatan sains dan teknologi sejak keruntuhan kekhalifahan Abbasiyah. Dunia Timur yang diwakili Jepang dan China juga mulai unjuk gigi dalam sains dan teknologi. Bagaimana dunia Islam, yang diwakili negara-negara Timur Tengah dan beberapa kawasan Asia seperti Indonesia?

Diakui atau tidak, dunia Islam sekarang ini adalah yang tertinggal dibanding yang lain, khususnya dunia Barat yang dulu banyak belajar dari Islam. Di zaman kejayaan Abbasiyah, banyak sekali pakar sains muslim yang menjadi pioner pengembangan keilmuan. Misalnya, dalam ilmu geografi kita kenal Ibnu Batutah, di bidang astronomi dan matematika sekaligus adalah Al-Majriti dan Al-Zarqali.

Lantas di bidang ilmu tumbuhan adalah Ibnu Sab'in, di kedokteran dan farmasi adalah Ibnu Zuhr dan Al Zahrawij.

Setelah kejatuhan Baghdad pada 1258 M oleh Hulagu Khan, kemunduran terjadi akibat banyak ilmuwan Islam bergeser ke fokus spiritual akibat rasa frustrasi karena peradaban mereka dihancurkan.

Dari sisi sains dan teknologi, kemunduran umat Islam bisa jadi karena berkurangnya porsi konsep "fikr" (pikir), sementara di sisi lain ilmu filsafat dengan unsur-unsur sufisme yang lebih besar semakin meningkat sebagaimana disebarkan Ibnu Arabi.

Kemunduran ini bisa dikatakan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan antara zikir dan pikir. Ketidakseimbangan ini bila dihubungkan dengan ayat-ayat penciptaan manusia adalah melanggar fitrah kemuliaan manusia itu sendiri. Jin dan malaikat pun diperintahkan oleh Allah SWT untuk bersujud kepada Adam a.s semata-mata karena kemampuan akalnya.

Kisah ini menunjukkan bahwa sekadar berzikir adalah suatu syarat cukup (order qualifier dalam istilah manajemen) di hadapan Allah SWT, karena semua makhluk "bisa" melakukannya sebagaimana pernyataan malaikat kepada Allah SWT: "Untuk apa Engkau hendak ciptakan manusia yang akan membuat kerusakan di muka bumi, padahal kami (malaikat) senantiasa bertasbih kepadamu?".

Bila semua makhluk bisa berzikir kepada-Nya, hanya manusia berimanlah yang mampu menyimbangkan berzikir dan berpikir dengan akalnya. Inilah syarat menang (order qualifier) yang seharusnya ditanamkan dalam pola pikir setiap muslim dalam membangun peradabannya. Keseimbangan inilah yang dimaksud Einstein, pakar fisika modern, dalam quotenya yang terkenal, "ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah lumpuh".

Jadi, Islamisasi sains dan teknologi dalam pandangan saya adalah membangun kembali pola pikir yang mengedepankan keseimbangan antara zikir dengan pikir yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat. Bila sains didefinisikan sebagai "how things are" dan teknologi sebagai "how do things", sangatlah perlu sains diimplementasikan secara riil dalam wujud teknologi yang bermanfaat bagi manusia.

Untuk keseimbangan peradaban, umat Islam perlu mengambil alih tingkat kepemimpinan sains dan teknologi yang sekarang ini berada pada peradaban Barat sekuler, seperti yang pernah terjadi di abad-abad pertengahan. Dengan keseimbangan peradaban tersebut, Islam akan mempunyai soft power yang seimbang di antara peradaban-peradaban besar seperti Barat, China (Konfusius), Jepang, dll, sehingga benturan peradaban dalam bentuk konflik akan diminimalkan.

Mungkin ini salah satu jalan mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil aalamiin (rahmat seluruh alam), yaitu dengan menjadikan dunia Islam memiliki kekuatan soft power yang berbasis knowledge (sains dan teknologi).

---

Prof Priyo Suprobo PhD , rektor Institute Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS).



diambil dari jawa pos edisi 3 sept 08

0 comments: